JurnalPost.com – Dosen Fakultas Hukum Universitas Pamulang telah menyelenggarakan penyuluhan hukum terhadap masyarakat, khusunya masyarakat di Kelurahan Kademangan Kecamatan Setu, Kota Tangerang Selatan, diselenggarakan pada hari Rabu tanggal 08 November 2023. Penyuluhan hukum ini disambut antusias masyarakat menghadiri penyuluhan mengenai Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sebagaimana belakangan ini sangat banyak kejadian-kejadian yang menjadi pengetahuan umum bahkan dikalangan selebriti yang banyak diberitakan di media sosial, dan memang dalam kejadian-kejadian sehari-hari kasus-kasus yang demikian banyak ditemukan oleh karena kasus-kasus ini menyangkut urusan rumah tangga. Dr. Maddenleo T. Siagian, S.H., M.H., Dosen Fakultas Hukum Universitas Pamulang menyatakan, bahwa Pengesahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan pembaharuan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berpihak pada kelompok rentan atau tersubordinasi khususnya perempuan sehubungan dengan banyaknya kasus kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga. Sebelum disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, perempuan korban kekerasan yang terjadi di dalam lingkup rumah tangga sulit mengakses perlindungan dan membawa kasusnya ke dalam ranah hukum dan peradilan. Walaupun penganiayaan yang dilakukan oleh suami terhadap istri telah diatur di dalam Pasal 351 jo. Pasal 356 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, namun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana secara terbatas mengatur tentang penganiayaan yang bersifat fisik. Selain itu, proses penegakan hukum terkait kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) terbilang sulit. Tidak banyak kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang diproses melalui hukum pidana. Budaya yang sangat kuat yang meletakkan kekerasan dalam rumah tangga sebagai persoalan domestik dan karenanya seolah-olah tabu bagi perempuan jika melaporkan kekerasan yang dialami. Budaya masyarakat yang masih memojokkan perempuan korban menjadi tantangan bagi perempuan dalam mengangkat kasusnya di hadapan hukum. Dengan demikian, keberadaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga memang diharapkan membawa perubahan bagi perlindungan perempuan korban di bidang hukum, khususnya hukum pidana. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga diharapkan mengubah stagnasi yang terjadi dalam menghadapi kasus-kasus yang dialami oleh istri. Semangat diundangkannya Undang-Undang Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga didasarkan pada falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan. Segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus. Kemudian, korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan, dan selanjutnya dalam kenyataannya kasus kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi, sedangkan sistem hukum di Indonesia belum menjamin perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga. Maka atas pertimbangan tersebut, maka perlu dibentuk Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sehingga Undang-Undang Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga kemudian diundangkan.
Selanjutnya, Dr. Maddenleo T. Siagian, S.H., M.H. menjelaskan dengan kehadiran Undang-Undang 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam Pasal 1 angka (1) telah dengan jelas menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Selanjutnya, dalam Pasal 1 angka (2) Undang-Undang 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga disebutkan bahwa Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga. Yang lebih baik lagi bahwa dalam Undang-Undang 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga disenutkan Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.
Asas-asas dalam Undang-Undang 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sebagaimana disebutkan oleh Dr. Maddenleo T. Siagian, S.H., M.H. dengan menyebutkan bahwa Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asas-asas sebagai berikut: (a) penghormatan hak asasi manusia; (b) keadilan dan kesetaraan gender; (c) nondiskriminasi; dan (c) perlindungan korban. Kemudian. penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan: (a) mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga; (b) melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga; (c) menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan (d) memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera. Selanjutnya, Muhammad Rezfah Omar, S.H., M.H. menjelaskan mengenai larangan kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana dalam Pasal 5 Undang-Undang Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang mana disebuutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara: (a) kekerasan fisik; (b) kekerasan psikis; (c) kekerasan seksual; atau (d) penelantaran rumah tangga. Muhammad Rezfah Omar, S.H., M.H. menguraikan lebih lanjut bahwa kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Kemudian, kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan: a. mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga; melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga; c. menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan d. memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera. Selanjutnya, disebutkan bahwa kekerasan seksual meliputi: (a) pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; (b) pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup umah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Kemudian, setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut dan penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Kemudian, dilanjutkan dengan penjelasan dari Annisa Intan Wiranti, S.H., M.H. bahwa Undang-Undang 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga telah memberikan hak-hak yang dimiliki oleh korban, yaitu (a) perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; (b) pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis; (c) penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban; (d) pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan (e) pelayanan bimbingan rohani. Annisa Intan Wiranti, S.H., M.H. menambahkan bahwa untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing dapat melakukan upaya : (a) penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian; (b) penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing rohani; (c) pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh korban; dan (d) memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga, dan teman korban.
Terhadap pelaku yang diduga melakukan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga tersebut, kemudian baik Dr. Maddenleo T. Siagian, S.H., M.H., Muhammad Rezfah Omar, S.H., M.H., dan Annisa Intan Wiranti, S.H., M.H. secara bergantian menjelaskan dan menerangkan mengenai ketentuan pidana dalam Undang-Undang 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dijelaskan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). Dalam hal perbuatan tersebut mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). Dalam hal perbuatan tersebut mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah). Dalam hal perbuatan dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah). Kemudian, Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah). Dalam hal perbuatan dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah). Selanjutnya, setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah). Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Dalam hal perbuatan tersebut mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurangkurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Untuk penelantaran ini, pelaku akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang: (a) menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya; dan (b) menelantarkan orang lain. Selain penjatuhan pidana tersebut, hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa: (a) pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku; dan (b) penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.
Sosialisasi ini diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran hukum kepada masyarakat agar dapat mengetahui dan memahami mengenai Undang-Undang 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang diharapkan agar dapat menghapus segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.
Quoted From Many Source